-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

‎20 Tahun Helsinki Berselang, Cakrawala Muda Aceh Tuntut Keadilan Substantif‎

Minggu, 03 Agustus 2025 | Agustus 03, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-03T08:57:50Z

‎Banda Aceh – Dua dekade pascaperjanjian damai Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia, sejumlah pertanyaan mendasar tentang keadilan dan demokrasi di Aceh kembali mencuat.
‎Hal ini menjadi sorotan utama dalam kegiatan “Mimbar Bebas Refleksi 20 Tahun Perdamaian Aceh” yang digelar oleh Cakrawala Muda Aceh, pada Sabtu, 2 Agustus 2025, bertempat di aula SMKN 3 Banda Aceh.
‎Acara ini mengangkat tema “Damai untuk Keadilan, Demokrasi, dan Kesenjangan Aceh”, dan menjadi forum terbuka untuk berdialektika secara kritis atas capaian dan tantangan perdamaian di Aceh.
‎Kegiatan ini mempertemukan berbagai elemen, mulai dari akademisi, tokoh politik, praktisi hukum, hingga generasi muda Aceh, untuk menilai ulang apakah damai yang dibangun selama ini benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat di tingkat akar rumput.
‎Ketua Umum Cakrawala Muda Aceh, Muhammad Revalansyah, dalam sambutannya menyampaikan kritik tajam terhadap narasi perdamaian yang selama ini lebih banyak dikonstruksi oleh kalangan elite.
‎“Jika damai hanya menjadi proyek birokratik dan komoditas kekuasaan, maka kita sedang memelihara perdamaian yang rapuh. Damai harusnya hadir sebagai instrumen transformasi struktural,” tegas Reval.
‎Selain Reval, hadir pula Husnul Jamil, M.I.Kom., M.I.P., pengamat kebijakan publik yang menyoroti praktik “demokrasi delegatif” di Aceh, di mana partisipasi masyarakat dikebiri sementara elite lokal mendominasi proses politik dan ekonomi.
‎“Perdamaian yang tidak menyentuh keadilan distributif hanya akan menghasilkan stabilitas semu. Kita sedang menyaksikan damai yang dibungkus rapi tapi meninggalkan luka sosial yang belum pulih,” ujar Husnul.
‎Acara ini juga menghadirkan dr. H. Nasir Djamil, M.Si. (Anggota DPR RI), Safaruddin, S.H., M.H. Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), dan Jamaludin Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang masing-masing menyoroti tantangan legislasi, implementasi kebijakan reintegrasi, serta stagnasi dalam pengelolaan dana otonomi khusus (otsus).
‎Acara ini berlangsung pada Sabtu, 2 Agustus 2025, di aula SMKN 3 Banda Aceh. Momentum ini bertepatan dengan peringatan 20 tahun perjanjian damai Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
‎Menurut panitia penyelenggara dan para narasumber, meski secara fisik konflik telah berakhir, namun ketimpangan ekonomi, lemahnya kontrol sipil, serta minimnya keadilan transisional masih menjadi pekerjaan rumah besar di Aceh.
‎“Indikator keadilan dan demokrasi substantif belum sepenuhnya terpenuhi. Transparansi dana otsus pun masih menjadi persoalan besar yang belum terselesaikan,” tambah Reval.
‎Para pembicara sepakat bahwa perlu adanya perombakan menyeluruh terhadap tata kelola daerah pascakonflik. Hal ini mencakup: Mendorong keterlibatan aktif generasi muda dalam pengambilan kebijakan, Penguatan institusi masyarakat sipil, Transparansi penggunaan dana publik, Dan keberanian politik untuk mengevaluasi implementasi UUPA serta butir-butir MoU Helsinki secara jujur dan menyeluruh.
‎Cakrawala Muda Aceh melalui forum ini menegaskan bahwa keadilan substantif adalah fondasi utama bagi perdamaian yang berkelanjutan. 
‎Cakrawala Muda Aceh menyerukan agar peringatan 20 tahun damai tidak hanya menjadi seremoni, tetapi momentum koreksi dan perbaikan nyata untuk masa depan Aceh yang lebih adil dan demokratis.
×
Berita Terbaru Update